20 Juli, 2011

Aetatis Tenebras



Hi bloggers and blog walkers! 
It's my 4th post already. :)
Senang rasanya bisa terus menulis. Menumpahkan apa yang ada di pikiran dan menuangkannya dalam tulisan secara spontan. Bagi saya ini merupakan sebuah terapi dan juga pelarian. Kebetulan saat ini saya memiliki banyak waktu senggang sebelum nanti akhirnya akan sibuk kembali dengan urusan rumah tangga, insyAllah berniat membuka usaha kecil-kecilan ketika sudah settle bersama suami, dan juga nanti akan sibuk mengurus anak pertama saya yang insyAllah akan lahir sekitar bulan oktober menurut prediksi dokter. :)
Lebih membuncah lagi rasa senang di dada ketika banyak mendapat respon positif dari orang-orang sekeliling. Beberapa teman dan bahkan 'stranger' mengirimkan e-mail, BBM, atau men-tweet tentang betapa mereka menyukai blog saya. I'm flattered and it's really motivate me to keep writing. I can never thank them enough. Thanks, mates. ;)

Kali ini entah mengapa saya ingin bercerita tentang 'Darkness Era'. Yup. Masa kegelapan.
Jangan takut atau membayangkan yang aneh-aneh dan menyeramkan dulu, karena kegelapan yang saya maksud disini adalah kegelapan hati dan jiwa.
Saya yakin setiap orang punya masa lalu. Dan bagaimana perspektif tiap manusia dalam memandang masa lalu boleh jadi berbeda-beda. Saya suka menatap masa lalu, mengingat setiap detail sejarah dalam kehidupan saya, ataupun pasangan saya (suami) sekalipun, TAPI tidak untuk dijadikan acuan bagi masa depan.
Saya percaya setiap orang bisa berubah. Semua itu hanya soal kemauan. Dan kesadaran.
Saya senang mengetahui setiap detail masa lalu suami bukan untuk kemudian menyimpulkan bagaimana ia sebagai seorang manusia dan seperti apa dia. Dia adalah bagaimana dia yang sekarang, yang saat ini bersama saya. Boleh jadi ia punya teman, sahabat, atau mantan kekasih yang sudah mengenalnya selama 5, 10, atau belasan tahun. Namun saya yakin dan percaya, saya-lah sebagai istrinya yang benar-benar mengetahui siapa dan bagaimana suami saya dari keseharian, kebiasaan, sikap, dan perilakunya di masa sekarang ini.

Sebelum menikah, saya senang ke rumah mertua saya, melihat-lihat foto masa kecil suami, mendengar berbagai cerita dari mertua tentang betapa nakalnya suami ketika masih kecil, dan juga kenakalan-kenakalan lainnya ketika ia sudah beranjak dewasa tentunya dari mulut suami sendiri. :D
Beberapa hal mungkin menyakitkan dan tidak selalu enak disimak. Beberapa membuat hati cemburu atau pilu (misalnya tentang kisah ia dan mantan-mantan pacarnya), namun bagi saya, semua itu penting diketahui dan menyenangkan didengar. Saya mencintai pria dihadapan saya ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dengan segala hal di masa lalu, masa kini, dan insyAllah masa depannya yang akan dijalani bersama saya, apapun dan bagaimanapun itu kelak.

Mendengar cerita tentang masa lalu suami selalu lucu dan menyenangkan karena saya ingin tau bagaimana ia dahulu ketika saya belum hadir dalam hidupnya. Sebagai wanita yang insyAllah akan setia menemaninya hingga ajal memisahkan, saya ingin tahu semuanya. Ya, semua! Bahkan saya akan sangat senang jika suatu saat diajak berkeliling ke tempat-tempat ia dulu dibesarkan dan tumbuh (kebetulan suami saya sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain karena tuntutan pekerjaan orang tua). I bet it's gonna be real fun! 'Napak Tilas' istilahnya. :)

Tidak cuma saya yang mengorek sisi masa lalunya, tentu suami pun tau segala hal tentang masa lalu saya. Tentunya saya juga memiliki sisi yang memalukan, mengharukan, membahagiakan, dan juga sisi gelap dari masa lalu saya. Masa itu yang saya sebut Masa Kegelapan atau Darkness Era.
Saya tidak keberatan berbagi dan bercerita tentang masa itu. Bukan bermaksud membuka aib sendiri. Tapi saya yakin dari setiap pengalaman hidup orang lain, setiap kegagalan dan air mata orang lain, ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dan mengambil  hikmah dibalik kisah orang tersebut. Itulah salah satu manfaat dari menyibak masa lalu atau sejarah, bukan? :)

So, shall we start now? 
Mari saya ajak anda sejenak menyelami dimensi ruang waktu dalam masa lalu saya, ketika segala hal masih begitu gelap, ketika saya masih melihat dunia ini dengan mata batin yang tertutup rapat. Semua hanya indah dan gemerlap diluar namun terasa begitu pekat didalam.......


Bisa dikatakan, Darkness Era dalam hidup saya adalah ketika saya melanjutkan studi ke Melbourne, Australia, dan beberapa tahun sesudahnya. Ketika itu saya masih sangat muda. Umur saya baru 17 tahun dan ketika berangkat saya baru saja menyelesaikan pendidikan hingga kelas 2 SMA. Saya mengambil double degree program sehingga rencananya hanya dalam 2,5 tahun saya sudah dapat meraih gelar diploma dan bachelor degree dari Monash University. Tambahan ketika itu saya lulus IELTS test jadi bisa langsung kuliah di Monash (salah satu kampus terbaik di Australia) tanpa harus mengikuti language program terlebih dahulu.

I was so young back then. Seventeen rules!

Living in Melbourne
Pertama kali tiba di Melbourne, saya masih homestay (tinggal bersama sebuah keluarga berwarga negara Australia), 'ngekos'-lah istilahnya. Bersama David sang kepala rumah tangga, Susan sang istri, dan Jacqualine serta Emily kedua anak perempuan mereka. Ketika itu saya masih sangat 'terkendali' dan terpantau oleh 'keluarga baru' saya itu, dan juga karena masih bertempat tinggal di suburb atau pinggiran kota yang tenang dan nyaman. Few weeks later, saya mulai mendapat banyak sekali teman. Entah itu sesama pelajar indonesia ataupun pelajar dari negara-begara lainnya. 

Sinan, a friend from Dubai. So close to me just like my own brother.

Edmund from Hongkong, Me, Sinan from Dubai, and Kim from Kuala Lumpur.
Setelah punya banyak teman, saya pindah ke appartment di tengah kota Melbourne. 'Patungan' bersama beberapa teman, kami hidup mewah dan hidup enak sekali disana. Saya mulai terbawa arus pergaulan dan kehidupan  malam. Kebaikan Oma saya yang sangat sayang pada cucu pertamanya yang studi ke luar negeri ini, saya sia-siakan. Oma begitu cemas dan khawatir saya kekurangan uang sehingga beliau sering sekali mengirimkan saya  uang. Tidak tanggung-tanggung, uang yang Oma kirim besar sekali jumlahnya setiap bulan mencapai ribuan dollar Australia. Bahkan uang jajan saya 3x lipat dari standard living cost bulanan para pelajar di Australia. Semua itu saya hambur-hamburkan untuk shopping di butik-butik dan department store paling hip saat itu, membeli ini-itu yang tidak penting, bersenang-senang, hangout ke tempat-tempat keren bersama teman-teman hampir setiap malam, hingga yang lebih parah saya akhirnya mencoba-coba merokok bahkan minum-minuman keras dan clubbing.

Crown Casino Plaza

Yarra River

First time I try to smoke cigga

One of the most popular night club in Melbourne


Another nite club

Melbourne memang terkenal akan kehidupan malamnya yang luar biasa liar. Bahkan menjadi salah satu tujuan dari seorang socialite heiress - billionaire Paris Hilton jika ia sekedar ingin bersenang-senang menghabiskan malam. Saya bahkan pernah clubbing di sebuah night club yang sama dengannya pada suatu malam dan melihatnya secara langsung tampil di stage ketika ia dipanggil sebagai tamu kehormatan pada malam itu. Seharusnya memang saya belum cukup umur (underage) di Melbourne untuk membeli rokok atau masuk ke diskotik karena saat itu saya belum berumur 18 tahun (batas orang dikatakan telah dewasa di Australia). Tapi tentu saja banyak cara untuk 'mengakalinya'. Meminta teman untuk membelikan rokok atau meminjam ID Card-nya, atau kalau hanya untuk masuk ke night club, saya punya banyak koneksi (teman) yang bisa memasukkan saya ke dalam guestlist sehingga saya bisa langsung masuk dengan mudahnya ke sebuah club tanpa dicek ID Card ataupun antre panjang diluar.  
Ketika itu saya bagai anak itik hilang arah dan tanpa tujuan. Saya bisa pulang malam atau  clubbing 4-5 kali dalam seminggu. Berpesta diatas kapal pesiar pun pernah saya coba. Kuliah jadi malas, meskipun setiap kali ada exam atau ujian saya selalu datang dan alhamdulillah tetap mendapat nilai bagus meski jarang belajar. Hal ini saya lakukan semata hanya agar keluarga di Indonesia tidak curiga.
Hati saya sering trenyuh jika mendengar Mama atau Oma atau Papa menelepon dan menanyakan kabar dengan suara kangen bercampur khawatir. Bagaimanapun saya anak perempuan. Anak pertama dan cucu pertama yang selalu dijadikan teladan dan kesayangan semuanya. Sungguh ketika suara mereka lewat lubang telepon bergetar sambil berkata serak karena ingin menangis menahan rindu, bilang, "Jaga diri baik-baik ya, nak. Pintar-pintar bawa diri.." Saya serasa ditampar dan hati saya menggelinding ke lantai karena merasa sangat bersalah. Tapi ketika itu gejolak darah muda dan hawa nafsu yang lebih banyak 'bicara' ketimbang hati dan nurani. Menyeret saya kesana kesini, lupa shalat 5 waktu, tidak ingat ALLAH apalagi dosa, hanya ingat hura-hura dan bersenang-senang saja seperti bocah kecil yang baru membuka mata melihat dunia dan segala gemerlap kilau cahayanya. 

Saya tidak tau pasti kenapa dan tidak ingat mengapa tiba-tiba saya memutuskan ingin pulang ke Indonesia. Tiba-tiba saja saya sadar saya di Melbourne hanya menghabiskan waktu, uang, dan malah menjadi liar. Saya yakin salah satunya karena doa Mama, Papa, Oma yang tiada henti, entah bagaimana hati saya tergerak untuk kembali ke tanah air. Padahal saya tidak homesick, tidak kekurangan suatu apapun, dan malah bisa dikatakan 'bahagia' sekali di Melbourne. Saya tinggalkan begitu saja kuliah saya dan program-program saya di Monash lalu pulang tanpa hasil dan gelar apapun. Hanya menyisakan kerugian hingga ratusan juta rupiah bagi Oma. 
Entah apa pula yang mendorong saya untuk jujur semuanya pada keluarga mengenai alasan kepulangan saya yang begitu tiba-tiba. Saya akui saya menjadi pribadi yang begitu berbeda disana. Saya akui di depan keluarga saya bahwa saya disana merokok, minum-minum, dan boros luar biasa. Semua kecewa dan ternganga. Saya kehilangan kepercayaan dari semua keluarga, kecuali Papa. Sejak itu Oma menghentikan semua aliran dana untuk membiayai saya. Beliau marah dan tidak mau lagi membiayai saya. Sementara mama saya masih bergantung pada Oma, dan Papa saya hanya Pegawai Negeri Sipil yang hidup sederhana dan harus membiayai keluarga barunya (ibu tiri dan dua orang adik tiri saya). Papa sampai harus menjual salah satu rumah yang dimilikinya di luar kota demi memasukkan saya ke SMA agar dapat menyelesaikan kelas 3 SMA hingga saya bisa mendapat ijazah, juga membayar bimbingan belajar terbaik agar saya bisa lulus UMPTN (atau SPMB atau SNMPTN namanya sekarang). 
Diremehkan semua orang dan dianggap 'produk gagal' oleh keluarga besar saya, saya bertekad harus bisa masuk UI. Universitas negeri terbaik di Indonesia. Saya yakin saya pasti bisa! Hanya Papa yang terus menyemangati saya dan tetap disamping saya saat semua orang memandang sebelah mata. Dan ternyata saya buktikan saya berhasil. Sejak itu perlahan pandangan Oma dan keluarga saya mulai membaik. Oma menyupplai lagi segala kebutuhan saya, beliau bangga sekali karena saya berhasil masuk UI dan menjadi sarjana. 

Saya adalah saya. Dimasa lalu atau sekarang atau di masa depan pun saya adalah Ernesta. Apa yang ada di masa lalu saya akan tetap saya bawa dalam diri saya. Segala dosa, penyesalan, dan rasa bersalah. Saya yang 7 tahun lalu suka bersenang-senang, hura-hura, jalan-jalan, menghamburkan uang, boros, suka bergaul, suka ke tempat-tempat baru paling hip saat itu. Bagaimana pun itu tetaplah saya. I admit that as a person, I really loves to hangout!

Vin+, Kemang with some highschool sweethearts

Bremer, Kemang

Oline Bistro, Kemang with campus mates

Roller Coaster 4D at Fun World

Bibliotheque, Sampoerna Strategic Square

Casa, Kemang

Enjoy 3D Cinema at Blitz Megaplex

Watching live music at Loca!

Goin' to the mall with some friends

Eating out at Takigawa, Grand Indonesia

Myrna's Birthday Party at Zenbu, Senopati

Tipsy, Kemang

CxPialidocious Reunion

Gourmet Garage, Kemang

Communication UI campus nite at Beyond

City Walk, Sudirman
Hingga saat ini pun saya masih suka kok bersenang-senang (yah, siapa sih yang tidak ingin senang?), saya masih suka jalan-jalan dan hangout, saya masih boros (hingga saat ini saya masih terus berusaha belajar mengatur pengeluaran), saya masih suka ke tempat-tempat baru yang sedang hip. Namun segalanya dengan porsi yang lebih pas, yang lebih pantas, dan sewajarnya. Tempat jalan-jalan saya masih sekitar Cafe, Mall, atau Restaurant. Tapi tentunya bersama suami. Muhrim saya. Pria yang selalu siap menjaga dan berhak sepenuhnya atas saya. Dan bukan lagi ke tempat clubbing atau tempat-tempat yang menyuguhkan maksiat. Sebetulnya kalau saya mau, suami saya yang masih sangat muda dan juga tidak asing dengan tempat-tempat itu, bisa kok saya ajak. Dengan senang hati ia pasti menemani. Tapi untuk apa? Apa saya belum cukup puas dan 'kenyang' dengan  dunia itu? Lalu apa yang saya dapat dari mengeksplorasi itu semua? TIDAK ADA. Selain senang-senang yang cuma sesaat, hanya tertinggal penyesalan dan image buruk. Dan apa pantas ikrar pernikahan yang suci dan sakral saya nodai dengan hal-hal seperti itu? Saya ingin membawa rumah tangga ini kemana? Ke jalan yang sesuai ridho ALLAH, yang baik, yang lurus, atau yang penuh maksiat dengan mabuk-mabukan bersama suami, pergi clubbing, dan menimbulkan fitnah? Mungkin kalau saya dan suami membawa pernikahan ini ke jalan yang seperti itu, ALLAH tidak akan atau belum mau mengaruniai pernikahan kami dengan titipan kecilnya yang mulia di dalam perut saya sekarang ini.
Saya yang sekarang juga masih boros. Namun saya belajar untuk lebih hemat. Setidaknya jauh daripada saya beberapa tahun lalu. Suami saya sudah begitu ikhlas dan rela menyerahkan uang hasil keringatnya bekerja keras untuk diserahkan pada saya. Apakah saya tega menghamburkannya untuk membeli ini-itu yang tidak penting seperti dulu ketika saya masih single? Ini uang yang diamanahi ke saya yang kelak di akhirat nanti saya akan diminta pertanggungjawabannya oleh malaikat, akan ditanya saya kemanakan saja nafkah yang diberikan suami saya tersebut. Disamping kini saya memiliki si kecil yang kelak juga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi mulai dari makanan, pakaian, perlengkapan, hingga pendidikannya kelak. Saya kini berperan sebagai seorang ibu dan istri. Apa pantas jika saya masih berlaku seperti saya beberapa tahun lalu itu?

Dulu saya gemar sekali berpakaian minim. Mengumbar aurat disana sini. Tanpa malu. Tanpa merasa risih. Tanpa ingat kewajiban saya sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat. Perintah 'resmi' dan jelas dari ALLAH yang saya baca sendiri ayatnya di Al-Qur'an. Saya akui sangat sulit menjalaninya. Apalagi saya memutuskan untuk memakai hijab sendiri tanpa dorongan dari siapapun. Mama saya sendiri belum memakai jilbab. Dan saya akui begitu banyak cobaan dalam menutup aurat. Tapi bagaimanapun saya sedang berusaha. Karena saya paham dan tau itu adalah perintah Dia yang menciptakan saya. Biarlah aurat ini semata untuk dinikmati suami saya seorang di rumah. Tidak lagi dinikmati semua mata ketika masih melajang seperti dulu. 









Memang sih suami tidak pernah melarang, tapi juga sejauh ini tidak pernah menyuruh saya untuk berhijab. Ketika sedang masa mual muntah hebat di trimester awal kehamilan, saya sempat melepas jilbab saya karena sangat mual tak tertahankan dan gerah sekali rasanya (kata orang, ibu hamil cenderung selalu merasa kepanasan). Setelah itu sempat keterusan malas lagi pakai jilbab. Apalagi setelah itu saya dan suami berlibur ke Bali. Cuaca dan aktifitas disana sangat tidak mendukung untuk memakai jilbab. Syukurlah perlahan kini saya menyemangati diri sendiri untuk kembali taat padaNya. Untuk takut pada perintahNya dan menunaikan kewajiban yang diminta oleh-Nya yaitu berhijab. Saya tau saat ini juga masih banyak kekurangan pada hijab saya (belum sempurna) namun insyAllah perlahan-lahan saya akan terus berusaha memperbaikinya. Saya yakin kebaikan dan ibadah sekecil apapun sekurang-kurangnya lebih baik daripada tidak sama sekali. 

Memandang ke belakang, ke masa lalu ketika hidup masih sangat terasa lepas, bebas, tanpa beban, dan hanya tau bagaimana bersenang-senang mungkin terkadang terasa indah. 



I called it 'Y' pose. :D

Terasa lucu dan menggelikan. I was so young and free, all is about to have fun! Namun ketika itu, hati dan jiwa ini tidak menemukan rasa tentram seperti yang saya rasakan sekarang. Saya percaya hati dan jiwa hanya akan terasa tenang ketika merasa dekat dengan yang menciptakannya. Karena saya umat islam, ketika menyentuh sejuknya air wudhu, ketika menghadapkan raga ini ke kiblat, ketika kita bersujud dengan khusyu' dan ikhlas tunduk pada sang khalik. Ketika kita selalu menyempatkan minimal 5 menit untuk menunaikan shalat dan menjaga konsistensi itu. ALLAH menyukai segala ibadah yang dilakukan berulang kali dan kontinyu (terus-menerus). ALLAH suka rutinitas yang berkesinambungan. 

Ketika dulu saya di Melbourne, saya memang senang setiap harinya, tapi ada satu rasa yang tidak bisa dijelaskan ketika saya hendak menutup mata dan tidur. Kosong. Hampa. Bingung. 
Saya tidak tau apa yang saya cari dengan melakukan semua hal yang saya tau dilarang agama saya itu. Agar terlihat gaul? Agar mendapat pengakuan dari teman-teman sepergaulan? Agar dinilai keren? Apa? Untuk apa? Apakah semua itu bisa ditukar dengan rasa kasih dan sayang keluarga saya yang begitu percaya dan bangga pada saya? Demi semua itu saya tega membohongi  dan mengecewakan mereka? Apakah jika ternyata umur ini tidak panjang dan saya mati muda, saya sanggup menerima siksa di alam sana dan menyesali semua tingkah saya selama hidup di alam ini? 

Lewat blog ini saya bukan bermaksud ingin ceramah religi. Tapi saya hanya ingin berbagi dan membiarkan anda berpikir sendiri. Saya tidak menilai siapa saja yang masih ingin hidup di 'Masa Kegelapan' (istilah saya sendiri) seperti itu adalah salah dan pendosa. Kita manusia diberi akal untuk menilai sendiri mana yang benar dan yang salah menurut nurani kita masing-masing. Jika ingin mendengar apa kata orang, saya percaya kita tidak akan pernah maju, karena setiap kepala punya pola pikir yang berbeda. Karena setiap hati tidak memiliki warna yang sama. Setiap insan selalu punya opini yang berlainan akan setiap hal dan setiap mulut yang berucap tak selalu senada mengenai sesama manusia lainnya.

Dulu saya merasa terombang-ambing. Bagai perahu tanpa nelayan di lautan lepas yang luas. Kini saya punya kendali, seorang nahkoda beratasnamakan suami yang siap membawa saya berlayar mengarungi samudera kehidupan. Segala hal jauh lebih luas dan pasti kini. Saya yakin saya hidup untuk beribadah kepada-Nya, untuk mencintai dan menemani seorang pria yang telah 'meminta' saya dari orang tua saya, dan jika nanti setelah melahirkan saya tetap diberi izin berada disini, maka saya ada untuk membesarkan, mengurus, merawat buah cinta kami kelak dengan sebaik-baiknya.
Saya tidak ingin muluk-muluk. Hanya ingin hidup ini lebih memiliki arti bagi mereka yang saya sayangi dan menyayangi saya. Itu saja. 

In my opinion, Manusia yang baik bukan yang sama sekali tidak pernah jatuh kedalam sebuah 'kolam' yang gelap dan dalam lalu tercebur, berenang-renang, hingga menyelam kedasarnya, dan bahkan meminum airnya yang keruh. Namun manusia yang baik adalah yang pernah jatuh lalu mencari cara untuk keluar, berenang menuju tepi 'kolam', dan ketika di perjalanannya nanti menemukan 'kolam' serupa, ia telah belajar cukup banyak hal untuk tidak lagi terjatuh kedalamnya. 

Ada sebuah istilah orang betawi yang cukup lucu namun menyentil.
"Lebih baik dulunya preman terus jadi kyai daripada dulunya kyai eh sekarang jadi preman."

True, masa lalu tidak akan menentukan masa depan seseorang jika sebagai individu ia terus berusaha memperbaiki diri dan berusaha jadi seseorang yang lebih baik lagi dan lagi.

Goodbye my Darkness Era, I wanna say hello to the Enlightenment Era of my life in order to pursue all my hopes and dreams. Of course, with my new little family. :)

4 komentar:

  1. Barakallahufik ernesta :) smg bs mjadi istri dan ibu yg shalihah untuk suami dan anak-anakmu ya :)

    BalasHapus
  2. Masa2 muda dan labil tuh emang masa2 yang paling indah dan lucu untuk dikenang yah.. Nice post nest. Keep writing! :)

    BalasHapus
  3. Amin Allahumma amiin, bunda Afra.
    mohon dibantu bimbingan dan masukan-masukannya yaa yang menenangkan jiwa. :)

    BalasHapus
  4. Thank you, wimz!
    Haha.. iya emang lucu kalo diinget-inget. Well, but absolutely not to repeat lah. Hehe.
    Malu sama umur, suami, dan anak. Haha.
    Wimmy juga nge-blog terus ya. Aku udah follow wimmy. :*

    BalasHapus