06 Juli, 2011

Animam Viventem


"animam viventem" adalah dua kata dalam bahasa Latin yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi "living life".

yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia.. umm, apa ya?
menjalani hidup? menghidupi hidup? Well, apapun itulah.
kadang beberapa kata dalam bahasa Inggris sangat sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Saya sendiri mengartikan animam viventem atau living life dengan bagaimana kita memaknai hidup kita.
Bagaimana kita memberi arti hidup kita agar menjadi lebih "hidup". Bagaimana kita menjalani atau menerapkan suatu pola untuk merangkai perjalanan kehidupan kita di dunia ini. (Ya, saya percaya dengan adanya kehidupan di akhirat atau kehidupan setelah mati).



"Life is all about choices"
Yes it is. Dalam hidup, kita diberi begitu banyak pilihan. Dan bagaimana arti/makna hidup kita didasari atas pilihan-pilihan yang kita buat. Namun begitu pun, kita manusia terkadang dikekang oleh lingkungan. Oleh norma-norma, adat, tradisi, kebiasaan, dan manusia lain. Yang pada akhirnya semua itu membatasi pilihan-pilihan yang kita miliki.
Umumnya kita lahir ke dunia, tumbuh besar, disekolahi, dikuliahi, hingga akhirnya bekerja, menikah, memiliki keturunan, lalu meninggal. Meskipun ada juga beberapa manusia "unik" yang tak sepenuhnya melewati proses itu. Ada yang begitu muak atau tidak percaya dengan komitmen pernikahan sehingga memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya. Ada juga yg tidak menikah namun memiliki keturunan dengan berbagai cara lazim ataupun tidak lazim seperti inseminasi atau tanam sperma, bisa juga dengan adopsi. Ada juga yang tidak menikah karena memang tidak bertemu jodoh yang ia nilai pantas untuk dinikahi dan hidup bersama hingga mati.

Saya sendiri saat ini mengetik blog baru saya ini dengan disaksikan janin yang menggeliat-geliat dan menendang-nendang dari dalam rahim saya. Ya, saat ini saya sedang hamil. Dengan usia kandungan yang sudah memasuki bulan ke 6. Alhamdulillah. :)
Tentu saja si jabang bayi ini merupakan salah satu dari konsekuensi pilihan saya dalam memaknai hidup saya. Ya, dengan menikah. Saya diberi karunia untuk memilih sendiri calon pendamping hidup saya (kebebasan yang tidak semua wanita miliki. misalnya Siti Nurbaya. ;p) yaitu seorang lelaki yang saya cintai dengan sepenuh hati. Seorang lelaki yang saya nilai luar biasa baik hingga hanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya saja, ia bisa meyakinkan saya bahwa saya akan aman, tenteram, dan bahagia hidup bersamanya. So far, it's true. Now I am as happy as I can be. :)

Usia saya saat ini 23 tahun. Hmm, beberapa hari lagi menjadi 24 sih. :p
Bagi sebagian orang, saya masih begitu muda untuk menikah. Tidak cuma teman-teman, tadinya keluarga saya pun sempat "kurang setuju" saya menikah. Terutama Oma saya. Beliau memang yang membesarkan saya sejak saya kecil. Oma yang tau potensi-potensi saya. Bisa dibilang saya memang cukup pintar di bidang akademis. Oma selalu bangga tiap kali melihat raport saya dari SD, SMP, hingga SMA dihiasi angka-angka 8, 9, 10. Dengan peringkat (rangking) kelas yang selalu 3 besar. Saya selalu masuk kelas unggulan untuk anak-anak yang kemampuannya diatas rata-rata murid-murid lain di sekolah. Saya pun sempat mengecap pendidikan di luar negeri yaitu di Monash College, Melbourne, Australia. Lagi-lagi saya bisa berangkat kesana selain dibiayai Oma, juga karena score IELTS saya yang saat itu mencapai angka diatas 550 dengan rata-rata nilai raport diatas 7 (masing-masing mata pelajaran). Kemudian saya juga lulus SPMB/SNMPTN dan berhasil masuk Universitas Indonesia jurusan Komunikasi (FISIP) dan menjadi Sarjana Sosial (S1). Atas dasar-dasar itulah, Oma saya ingin sekali melihat saya bekerja, menjadi wanita karier dan "sukses" menurut versinya, bukannya menjadi istri orang (ibu rumah tangga) secepat ini.

Tanpa bermaksud kurang ajar atau tidak tahu diri, namun inilah saya. Saya selalu dan selalu membuat keputusan serta pilihan-pilihan sendiri bagi hidup saya. Bisa dibilang saya keras kepala atau egois. Terserah.
Saya sayang sama Oma. Dan saya tau saya "berhutang" banyak pada beliau. Namun saya tetap tidak bisa membiarkan Oma menentukan pilihan hidup saya.
Menurut saya, tiap manusia ingin meraih kebahagiaannya sendiri, "sukses" menurut versinya sendiri. Dan saat ini, inilah yang saya lakukan. Menjajaki dan menapaki kesuksesan atas kebahagiaan yang saya inginkan.
Mengapa?
Bisa dikatakan.. "Keluarga" adalah salah satu hal yang begitu cepat "hilang" dari hidup saya. Bukan, orangtua saya belum meninggal. Mereka masih ada namun mereka begitu cepat berpisah. Menceraiberaikan kebahagiaan yang dimiliki saya dan dua orang adik saya yang masih begitu kecil saat itu. Saya baru berusia 9 tahun ketika Papa dan Mama memutuskan untuk berpisah, adik saya 5 tahun, dan si bungsu satu-satunya laki-laki,bahkan belum berusia 1 tahun.
Hanya saya yang mengerti dan paham situasi ketika itu. Bahwa Papa dan Mama sering bertengkar. Bahwa mereka akan berpisah dan kita tidak akan pernah tinggal satu rumah lagi sekeluarga. Saya sering menangis. Mencuri dengar dan mengintip pertengkaran Papa dan Mama. Dan itu sakit. Sangat. Bagi gadis kecil berusia 9 tahun seperti saya saat itu, beruntung psikologis saya tidak kemudian jadi terganggu.

Saya tidak trauma akan pernikahan. Tidak menganggapnya hanya omong kosong dan sekedar status diatas kertas belaka. Namun justru sebaliknya. Pernikahan itu sungguh sakral. Status dan komitmen itu sangat penting. Karena saya yang tau bagaimana sakitnya dan betapa menderitanya bila pernikahan, status, dan komitmen itu hancur lebur.
Keluarga kami sangat berkecukupan. Bahkan lebih. Tak heran, karena Kakek saya pernah menjabat sebagai seorang Walikota Jakarta Pusat dan juga Timur selama beberapa periode. Hasil kerja keras dan kecerdasan Kakek pun hingga saat ini masih dapat saya nikmati melalui beberapa aset-asetnya yang memang ia tujukan untuk anak dan cucunya.
Itulah yang membuat saya sadar bahwa uang itu penting. Namun benar dan bukan klise bahwa uang TIDAK dapat memberi kebahagiaan. Saya memiliki setiap mainan mahal, barang-barang mewah, dan uang jajan dalam jumlah sangat banyak yang mungkin diinginkan setiap anak pada saat itu (bayangkan saya pernah membawa uang Rp. 500.000,- ketika kelas 4SD pada tahun 1997 sampai akhirnya disita oleh guru saya). Namun apalah artinya jika saya tidak memiliki "keluarga" hal terbaik yang mungkin dimiliki setiap anak seumuran saya pada waktu itu.

Saya rasa hal itulah yang kemudian merubah cita-cita saya selamanya. Dulu saja saya sudah begitu cinta dengan IPA terutama biologi dan bercita-cita jadi seorang dokter. Apalagi salah satu aset keluarga saya adalah sebuah Rumah Sakit. Namun hal itu berubah. Cita-cita saya adalah bisa memiliki keluarga lagi. Keluarga saya sendiri. Suami. Anak-anak. Dan saya menjadi ibunya, yang insyAllah tidak akan pernah saya mau melakukan kesalahan yang sama seperti Papa dan Mama. Saya tidak ingin terlihat keren, kerja di perusahaan ternama, dengan penghasilan yang bisa membeli baju-baju, tas-tas, atau sepatu-sepatu mahal. Saya hanya ingin bahagia lagi. Berada di tengah keluarga lagi. Yang hangat dan harmonis. Itu saja. Itu pilihan hidup saya. Thats the way I wanna living my life. My own way. :)

Dan blog ini akan menceritakan perjalanan hidup saya. Hal-hal yang ingin saya abadikan dalam tulisan dan kata-kata. Agar kelak anak-anak atau bahkan cucu-cucu saya nanti bisa membacanya, mengenangnya, dan tau saya pernah ada disini. Hidup. Menjalani hidup. Menghidupi hidup. Whatever. :)

4 komentar:

  1. Bagus banget Ernesta sayaaang.. Jadi terharu... :)

    BalasHapus
  2. my mom and dad did the same with yours' :)
    tp ws yakin krn itu yang terjadi, maka insya allaah itu lah yang terbaik dr allaah. hubungan kami pun tetap baik sampai sekarang.
    ws mengapresiasi anak2 yang tetap bersemangat meski org tua mereka berpisah. mereka tidak mendendam pada masa lalu. bahkan mereka berusaha untuk jadi lebih baik demi anak2 mereka :)

    BalasHapus
  3. thank you wimmy. never thought that you're gonna read my blog. i'm in love with your truly inspiring blog. keep writing! :)

    BalasHapus
  4. hi awis! thank you for reading! :)
    iya alhamdulillah keluargaku jg baik2 saja semuanya. meskipun mama dan papaku keduanya udah menikah lagi. aku malah ngerasa jd kaya punya 4 orang tua! double parents! :)
    hubungan aku sama papa dan mama tiriku jg alhamdulillah baik dan aku sayang sekali sama adik2 tiriku. lucu-lucu sekali mereka. aku sayangin seperti adik sendiri. :)

    BalasHapus