27 Juli, 2011

Vir Meus


My beloved husband

Bride's and Groom's room. ;)

Our Wedding Ring :)

Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengungkapkan penelitian bahwa pasangan suami istri yang langgeng, yang bisa bertahan hingga puluhan tahun, adalah suami istri yang sering tertawa bersama. Bukan berarti sepasang manusia yang kerjanya hanya tertawa saja dan tidak pernah bersedih. Tentu banyak lika-liku rumah tangga yang diiringi tak hanya oleh tawa tapi juga airmata. Penelitian ini hanya menyebutkan bahwa mereka yang lebih sering tertawa bersama akan lebih harmonis dan lebih long lasting pernikahannya.

Percaya atau tidak, pernikahan saya dan suami berasal muasal dari sebuah tawa. Bersama. :)



How we met each other?
Lucu jika dirunut dan ditelusuri kronologis pertemuan kami. Awalnya, kami sempat seperti 'ga jodoh'. Susah dan unik cara bertemunya. Saya kuliah di Universitas Indonesia, Depok, mengambil jurusan komunikasi (FISIP), sedangkan suami jurusan akuntansi (FE) di Universitas Diponegoro, Semarang. Jauh dan 'gak nyambung' memang. Tapi uniknya,ada sekian banyak 'link' untuk kami bisa bertemu.
Pertama, ternyata salah satu sahabat karib suami semasa kuliah (sebut saja RJ) adalah teman SD saya. Dan sewaktu saya reuni SD, saya akhirnya bertemu lagi dengan RJ, RJ kemudian 'melapor' ke suami, katanya sih karena saya ini 'type' perempuan yang disukai suami saya. Namun ketika itu saya masih memiliki 'pacar' yakni seorang lulusan Akademi Kepolisian, sebut saja AW. Jadi, ketika itu saya dan suami 'belum jodoh'.
Setengah tahun berlalu dan saya pun sudah putus dengan AW. Suami sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dari kantornya di Jakarta. 

Suatu hari saya tiba-tiba saja mendapat message di Facebook dari teman kampus saya (sesama mahasiswi komunikasi di UI) yang ternyata sekaligus juga teman SMP suami ketika di Padang dulu (suami saya pernah tinggal di Padang selama beberapa tahun), sebutlah RG. Awalnya RG berbasa-basi menyatakan bahwa ia mendengar saya sudah putus dengan AW, dan dia memiliki maksud mengenalkan saya dengan temannya. Saya mengenal RG sebagai anak yang baik di kampus, maka saya berasumsi temannya juga pasti anak baik-baik. Saya oke-oke saja ketika RG bilang mau memberikan PIN BlackBerry saya  ke temannya itu. Jadilah suami saya meng-invite PIN BB saya dan kami berkenalan seadanya. Belum ada kesan apapun ketika itu. Semua biasa saja. Saya sempat penasaran dan melihat-lihat foto-foto di Facebook suami. "Ah, kok kayanya pendek sih orangnya. Males ah." (Maklum, saya pecinta laki-laki bertubuh tinggi besar). :p

Setelah beberapa kali BBM-an, suami menelepon saya. Pertama kali dengar suaranya, tidak ada yang istimewa. Malahan karena suami termasuk orang yang ceria dan termasuk 'cerewet' untuk ukuran lelaki, saya merasa ia bukan tipe yang saya suka. Tapi lucunya, ia selalu bisa membuat saya tertawa. Kalau sudah 'ngobrol' di telepon dengannya kok rasanya saya tidak bisa berhenti ketawa. Tapi sebatas itu saja yang saya ingat darinya. He's a guy that can make me laugh. A lot. That's it.

Link lain yang bisa mempertemukan kami adalah melalui sahabat saya, MR (perempuan), yang ternyata juga teman suami saya. MR sedang asik jalan-jalan bersama saya dan ketika itu di mobil saya, kami berdua sedang menuju suatu tempat. Sambil menyetir, saya curhat, "Ada juga nih yang lagi sering BBM dan nelfn gue. Namanya Rifqi. Dia itu temennya temen kampus gu.." Belum sempat saya menyelesaikan omongan, MR merebut BlackBerry saya dan melihat foto suami di contact list BBM, "Ini mah gue kenal! Tadinya emang dia mau gue kenalin ke elo. Tapi dia tuh playboy banget. Kayanya sih masih mau main-main gitu deh. Lo kan mau cepet kawin, kalo gitu jangan sama dia deh mendingan." Dengan review seperti itu, ya jelas saya juga jadi semakin malas diajak meet up sama suami. 

** Suami juga menuliskan mengenai pengalaman lucu awal perkenalan kami ini di blog pribadinya: www.rifqiiii.wordpress.com pada postingan berjudul "A Lady Named Ernesta Kurniawati" : http://rifqiiii.wordpress.com/2011/07/20/a-lady-named-ernesta-kurniawati/ **

Akhirnya saya dikenalkan MR ke orang lain (sebut saja si ID) dan sempat dekat selama kurang lebih 2 bulan, saya lost contact dengan suami. Tidak pernah BBM-an atau teleponan lagi. Namun kami masih saling follow Twitter satu sama lain. Itu saja yang masih menghubungkan kami ketika itu.
2 bulan berlalu dan saya kemudian menjauh dari ID. Alasannya karena dia belum bisa serius berkomitmen lebih jauh meskipun umurnya sudah beberapa tahun diatas saya. Ia belum memikirkan untuk menikah. Saya merasa kami mengarah ke dua tujuan berbeda lalu saya memutuskan untuk berpisah saja. Saya sedih sekali ketika itu. Saya berpikir tadinya ID adalah orang yang tepat. Namun saya salah. Ketika itu saya sering men-tweet galau. Apalagi pada kisaran pukul 2-4 pagi (saya tidak bisa tidur kalau sedang sedih/banyak pikiran). Tentang patah hati, kesedihan, dan kesendirian. Suami juga tau karena dia masih membaca tweet-tweet saya. Ketika itu saya sangat kesepian. Duh, butuh tertawa lepas rasanya. Mungkin tertawa bisa sedikit mengobati kesedihan dan mengalihkan pikiran saya. Ketika itu lah saya ingat suami saya. 
Saya iseng men-search namanya di contact list BBM saya, lalu saya hanya mengirimkan sebuah pesan yang sifatnya hanya menyapa (lebih pada mengejutkan) yang serupa dengan fungsi BUZZ!!! pada YM! Ya, saya hanya mengirimkan kata : "PING!" pada suami. Setelah itu kami jadi banyak ngobrol lagi. Benar saja, saya jadi banyak tertawa. Dia baik sekali. Dia tau ketika itu saya hanya sedang butuh hiburan. Butuh seseorang yang bisa sedikit menceriakan saya dengan tawa. Ketika saya menceritakan tentang apa yang saya alami bersama ID, ia mendengarkan dengan seksama. Sesekali menanggapi dengan : "terus terus?" pertanda ia begitu menyimak, lalu memberi komentar dan saran yang jenaka. Ia bilang, "Gue tau kok. Gue baca tweet-tweet galau lo. Lo butuh dihibur? Tenang.. Gue emang pria penghibur kok. Hehehehehe." Dasar gila! Dia malah lagi-lagi bercanda di telepon dan membuat tawa saya pecah. 

Dan ternyata dia benar! Setiap hari kerjanya hanya membuat saya tertawa terpingkal-pingkal lewat telepon. Kadang dia sengaja memberitau joke-joke konyolnya pada saya atau sekedar menceritakan apa yang dia alami hari ini di learning center-nya. Kadang saya heran apa dia tidak ngeri atau ilfeel mendengar tawa saya yang begitu lepas dan tidak tau malu setiap hari itu. Dia hanya bilang : "Gapapa tau. Ketawa lo lucu. Seneng kok dengernya." He's officially my own clown. 

One of his picture on Facebook

Akhirnya setelah sekian lama hanya berhubungan di telepon, BBM, dan Twitter.. Kami janjian untuk 'ketemu' secara langsung. Karena sedang pendidikan dan pelatihan yang begitu ketat, ketika itu suami hanya punya sedikit waktu. Ia hanya boleh keluar dari learning center selama beberapa jam. Kalau ia pulang kerumahnya dulu lalu ambil kendaraan dan menjemput saya di rumah, tentu akan menghabiskan waktu di jalan (Jakarta kan biang macet!). Akhirnya saya bilang, "Yaudah gini aja. learning center lo kan di daerah selatan. Banyak tempat makan disana. Gue aja deh yang jemput lo di lobby FX (sebuah mall di Senayan) trus kita makan di.. Hmm.. Pancious Permata Hijau aja gimana? Tempatnya enak, santai. Trus deket banget kan dari learning center lo di Simprug?" Dia langsung setuju. 

Pertama kali bertemu, saya rapih sekali karena baru selesai menghadiri acara resepsi seorang teman di kantor (ya, ketika itu saya sempat bekerja beberapa bulan sebagai Public Relations di sebuah perusahaan foreign exchange/forex sambil mengisi liburan kuliah yang cukup panjang sebelum semester terakhir dimulai), sementara suami dengan gayanya yang casual khas anak muda 'banget'; kemeja bermotif kotak-kotak kecil yang dibuka kancingnya seluruhnya, t-shirt putih, dan jeans. Ketika dia naik ke mobil saya di lobby FX, saya sempat meledek, "Duh, gue kaya tante-tante lagi jemput berondongnya nih. Hahahahaaha." Dia pun senyum-senyum saja dan kami tukar posisi (gantian dia yang menyetir mobil saya), lalu kami menuju Pancious. 

Suasana di Pancious Permata Hijau memang menyenangkan. Apalagi kami mengambil tempat duduk yang di sofa 'lesehan' persis disamping kolam renang. Sayang sekali rasanya sekarang Pancious cabang Permata Hijau ini sudah tidak beroperasi. Katanya sih karena habis masa kontraknya. Padahal tempat itulah yang jadi saksi first date kami. ;)
Setelah memesan makanan dan minuman, kami berbincang santai. Terlihat sekali betapa gugupnya suami ketika itu. Tidak 'luwes' seperti di telepon dan tidak banyak omong. Haha. Nervous dia. ;p
Dia banyak cerita soal pekerjaannya. Ketika itu ia baru diterima disebuah perusahaan oil & gas terbesar dan paling diminati di Indonesia, mengalahkan ribuan saingan yang mengincar perusahaan yang sama. Ia juga masuk ke program BPS (Bimbingan Profesi Sarjana) untuk strata S1 (sarjana) sejenis Management Trainee (MT) yang sangat bergengsi karena membuat jenjang karier jadi lebih singkat mencapai jabatan golongan tinggi. Wajar jika ia bangga. Setau saya dia memang dikenal pintar dan cerdas. Yang saya bingung, kok dia langsung gamblang sekali cerita soal berapa gajinya kepada saya.
Dia bilang, "Lho.. Kan lo bilang lo mau nikah muda, Nest, gamau pacaran-pacaran lagi kan? Ya, gue sih gamau cuma jadi temen. Kalo emang lo serius, gue juga serius. Orang tua gue dari dulu udah nyuruh nikah. Tapi gue bilang ntar aja ah kalo udah 30 tahun dan gue ga pernah mau dijodohin sama nyokap selama ini. Kalo masih bisa nyari sendiri ya gue pengennya milih calon bini sendiri lah."
"Nah, sekarang kan lo baru umur 22 nih. 30 masih 7 tahun lagi."
"Ya, kalo lo mau nikah cepet, ya gue oke kok. Gue siap. Gue udah kerja, punya penghasilan. Dan sekarang udah ketemu calonnya. Makanya gue pengen aja lo tau segitu gaji gue kira-kira."
Gila ini manusia! Baru juga pertama kali jumpa. Bukan orang biasa sepertinya bocah satu ini, pikir saya.

Saya tidak bisa menjelaskan dengan pasti apa yang saya rasakan saat pertemuan pertama kami itu. Ada sesuatu yang lain. Yang entah mengapa dengan seorang lelaki asing yang baru pertama kali saya temui hari itu, saya tidak merasa asing. Dia lain. Dia berbeda dari lelaki-lelaki sebelumnya yang pernah saya temui. Ada rasa nyaman yang aneh namun melegakan. Ada sesuatu dalam hati saya yang seolah membisikkan, "He's the one for you, Nest. This is it. The searching is over now."
Secara fisik bagi saya dia menarik. Ternyata dia begitu tinggi dan besar tidak seperti di foto Facebook. Jika kami berdiri sejajar, sudut mata saya bertaut tepat di pundaknya. Disampingnya saya merasa jadi begitu pendek. Ia juga berkulit gelap, mungkin tidak tampan namun memiliki kharisma tersendiri. He's so manly! That's what it takes to get me. Saya akui saya tertarik pada pandangan pertama. Yes, then we're in love. In a very instant way like it was so easy to trust each other and to fall in love, then decided to marry at a very young age. As soon as possible. 

Tall, dark, manly. ;)

The Cafe, Hotel Mulia, Senayan

How can I not fall in love with you?

Saya pernah bertanya padanya, "Kamu deketin aku disaat aku lagi patah hati. Kamu ngga takut cuma jadi pelarian aku? Have you heard a quote that mention 'never put someone to be your priority if he/she just make you an option'?". Sambil tersenyum dia menjawab santai, "Yah kalo prinsip aku sih gini, Nest.. Cara orang untuk bisa 'masuk' atau 'deket' ke orang lain itu beda-beda. Ya kalo memang cara aku untuk bisa deketin kamu dengan proses kaya gini.. Why not? Kalo quote aku sendiri sih 'you have to be an option first before you can become a priority to someone'. Right or not?" Well, he's absolutely right. He seems just never wrong to me. My hero. My saviour. My man. :)

Kami boleh begitu cepat jatuh cinta dan yakin satu sama lain. Tapi tujuan kami bukan untuk sekedar pacaran ala anak remaja. Kami serius ingin segera menikah meskipun baru saja saling mengenal dalam waktu singkat. Sedangkan menikah bukan saja antara dua insan manusia tapi juga dua keluarga. Sementara kami baru saling bertemu, bagaimana caranya meyakinkan keluarga kami?

Pertemuan ketiga saya dan suami, ia mengajak adik perempuannya, TH. Dari cerita-ceritanya selama ini, suami begitu dekat dengan TH karena usia mereka hanya terpaut 2 tahun. Ia merasa saya sebagai orang terdekatnya pun harus juga kenal dan dekat dengan adik kesayangannya ini. Pertemuan pertama saya dengan TH begitu lancar. Kami langsung akrab. Beberapa kali saya tersenyum memperhatikan dua kakak beradik ini, wow, mereka benar-benar sangat saling menyayangi. Terlihat bagaimana suami begitu melindungi adiknya dan sang adik pun sama, begitu melindungi abangnya dengan caranya sendiri. Dengan memastikan apakah saya pantas menjadi istri abang kesayangannya, ia menilai dan mengamati perempuan seperti apa saya ini. :)
Melihat TH yang terkadang gemas sekali dan mencubiti pipi abangnya yang memang chubby dan lucu membuat saya yakin, he's so family guy. Dengan adiknya saja ia bisa sedekat ini, apalagi dengan mamanya. Saya selalu mencari pria yang begitu dekat dengan keluarga dan menyayangi keluarganya dengan sepenuh hati, karena kata orang, itulah gambaran kira-kira bagaimana ia kelak memperlakukan istri dan anaknya nanti. 

Benar saja, semua itu terbukti ketika pertemuan selanjutnya saya dijemput suami, dibawa kerumahnya untuk dikenalkan pertama kali ke Mama, Ayah, dan dan dua orang lagi adik perempuannya selain TH. Keluarganya begitu hangat dan menyambut saya dengan begitu ramah. Saya tidak seperti orang asing, bahkan saya merasa seolah kehadiran saya telah lama ditunggu-tunggu. Mendengar mamanya kemudian bilang, "Abang udah banyak cerita soal Ernest. Tante senang sekali. Kalau memang sudah mau serius, tante dan om bilang supaya segera melamar Ernest saja. Om sama tante sudah kepingin banget punya cucu." 
Tuhan, terima kasih telah membuat aku sampai disini. Ini seperti tempat pemberhentian terakhirku. Akhirnya aku merasa seperti menemukan keluarga baru. :')

Jalan kami namun tak semulus itu. Ketika suami datang kerumah saya untuk melamar secara pribadi, ia berhadapan dengan Oma, Papa, dan Mama saya. Para 'petinggi-petinggi' yang menguasai saya ini seperti belum yakin melepas saya dengan lelaki muda belia berusia 22 tahun (usia suami saat itu), ditanyai macam-macam dan dibombardir dengan begitu banyak pertanyaan jebakan yang berkesan retoris, saya sungguh tidak tega melihatnya. Apalagi melihat peluh suami sampai berkeringat. Punggungnya pun basah oleh keringat karena ia gugup. Bayangkan ia menghadapi Oma, Papa, dan Mama saya sendirian!
Mereka terlihat menghalang-halangi dengan menambahkan, "Ernest ini anaknya manja lho, Rifqi. Boros pula. Kerjanya senang-senang, ke salon, shopping, dan ga bisa apa-apa. Boro-boro bisa masak atau nyapu atau ngepel. Dia ga kenal urusan rumah tangga. Sudah siap memangnya?" Tega sekali!

Esoknya suami membawa orangtuanya dan situasi masih sama. Saya sungguh malu. Saya diperlakukan dengan begitu istimewa oleh keluarganya ketika kerumahnya tapi mengapa ketika keluarganya kerumah saya untuk mengutarakan maksud mulia melamar saya, malahan seperti tidak disambut baik?! 
Saya sampai menangis dan kesal sendiri. Kenapa jadi begini? Apa karena keluarga ingin saya lulus kuliah lalu bekerja dulu? Saya tidak boleh menentukan jalan hidup sendiri dan menikah dengan laki-laki yang saya cintai? Atau karena mereka sekedar belum yakin suami saya bisa membahagiakan saya kelak? Atau apa sih? :(



Namun kami tidak menyerah. Suami begitu sabar dan meyakinkan serta menguatkan saya. Kami yakin apa yang kami perjuangkan adalah suatu tujuan mulia. Atas dasar ibadah. Ya, bukankah menikah itu berarti ibadah dan menyempurnakan separuh agama? ALLAH pasti bersama kami dan memberi kami jalan. Suami sampai pernah berkata bahwa ia akan menunggu saya. Menunggu sampai keluarga saya menyetujui pernikahan kami. Entah berapa tahun lagi pun itu. 
Saya paham mungkin keluarga saya shock.Tiba-tiba saja kedatangan seorang lelaki yang ingin meminang saya dan bahkan belum pernah mereka temui sebelumnya.
Alhamdulillah ternyata berkat kegigihan dan keseriusan kami, akhirnya semua merestui. Melihat betapa kami begitu berjuang keras dan betapa bulat tekad kami, akhirnya dua keluarga besar kami berkenalan dalam sebuah acara lamaran dan tukar cincin di rumah Oma saya, tepat beberapa hari sebelum suami berangkat untuk on job training ke Palembang selama 7 bulan. Rencananya setelah ia kembali, kami akan langsung segera menikah. Jadi cincin di jemari saya ini hanya sekedar 'tanda' bahwa sudah ada yang mengikat saya sebelum akhirnya kami resmi menikah nanti. :)

Rifqi & Ernesta

March 21st, 2010

My fingers are no longer 'free'. :)

Persiapan pernikahan kami juga begitu singkat, hanya sekitar 5 bulan. Saya selama ini sudah begitu banyak menyusahkan Oma dan saya ikhlas jika pernikahan saya hanya diselenggarakan secara sederhana saja. Saya tidak mau sampai menyusahkan Papa atau Mama, karena mereka berdua sudah menikah lagi dan sama-sama punya keluarga baru yang harus dibiayai. Besides, what really matter is not the wedding but the marriage, isn't it? Kalau pun ada uang lebih, lebih baik ditabung untuk keperluan rumah tangga kami kedepannya daripada dihamburkan untuk semalam saja demi prestige semata. Yang terpenting saya bersyukur sudah direstui untuk bisa menikah dengan pria pilihan saya yang saya cintai. 

Selama 7 bulan setelah lamaran, saya dan suami harus bersabar menjalankan hubungan jarak jauh. Kami juga jadi banyak bertengkar karena suami sebetulnya cemburuan dan saya pusing sendiri dengan segala tetek bengek persiapan pernikahan  kami. Bahkan saya sampai jatuh sakit dan diopname di Rumah Sakit selama seminggu karena kelelahan dan stress. Katanya memang pasangan yang hendak menikah banyak diuji ini itu menjelang pernikahannya. Saya dan suami senantiasa saling menguatkan dan mengingatkan bahwa ini adalah proses pendewasaan yang harus kami lewati.



Meskipun termasuk orang yang pencemburu, namun suami lebih suka 'menahan' perasaan. Ia hanya mengeluarkan uneg-unegnya bila ia benar-benar sudah tidak tahan. Misalnya ketika ada orang-orang dari masa lalu saya (seperti mantan pacar) yang muncul lagi untuk mengganggu dan lain sebagainya. Namun kami selalu berusaha untuk mengkomunikasikan masalah apapun dan selalu saling jujur sekecil apapun itu. Kami tidak pernah saling curiga. Kalaupun ada rasa cemburu, itu lebih karena kami sedang jauh dan sangat saling rindu hingga kadang terasa begitu menyedihkan. Satu hal yang paling saya suka adalah suami saya termasuk orang yang luar biasa sabar menghadapi segala keegoisan dan tingkah laku saya, dan meski tetap memiliki wibawa dan harga diri tinggi lelaki, ia tak segan untuk minta maaf sehingga segala persoalan menjadi begitu ringan, cepat selesai, dan tidak 'menumpuk'. Ia memberi begitu banyak pembelajaran bagi saya. Terkadang ia membuat saya malu karena saya sungguh seperti anak kecil yang manja bila dibandingkan dengannya. Bagi saya, ia luar biasa matang di usianya yang bahkan lebih muda beberapa bulan dari saya. It's true that age is just a number. His mature personality is a lot more than his age.


Akhirnya hari yang kami tunggu-tunggu tiba juga! 7 bulan berpisah rasanya seperti 7 tahun! Terasa lamaaa sekaliii. :D
Akad nikah dilangsungkan pada hari yang sama dengan resepsi pernikahan kami. Hanya saja akad nikah dilangsungkan pagi hari, sedangkan resepsi dilangsungkan malamnya. Saya tidak sabar ingin segera hidup bersama. Tidak penting segala hal lainnya dan segala kekurangan dalam pesta kami, bagi saya dan suami, yang terpenting kami sah, halal, dan bisa menempuh hidup baru berdua. Bersama. :)

Tie the knot

Officially man and wife

He looked triple handsome on that BIG day. ;)

Ijab qabul

My Grandmama

Full of tears. A happy tears. :')

"Seserahan"

With my girls at my wedding party. They gave me an award as the first one who get married! :D

My grandmama's car as our bridal car. :D

Dream comes true


Setelah menikah, saya dan suami berangkat ke Palembang, meninggalkan kota Jakarta yang selama ini menjadi tempat saya lahir, tumbuh, sekolah, kuliah, sarjana, hingga akhirnya menikah. Ini pengalaman pertama saya hidup di daerah diluar ibu kota. Banyak teman-teman keheranan dan meragukan apakah saya mampu dan bisa hidup di daerah. Asalkan bersama suami, saya yakin saya mampu dan bisa. :)

Saya belajar sendiri bagaimana menyiapkan sarapan suami meski seadanya, bagaimana menyapu, mencuci piring, hingga menyeterika pakaian kerja suami. Meski terasa berat awalnya namun semua begitu indah dijalani berdua karena kami selalu saling membantu. Meskipun capek, kadang suami menyikat lantai kamar mandi sepulang kantor karena tak ingin saya sampai terpeleset jika licin. Bila melihat saya menyapu, suami selalu bilang "Sini sayang biar aku aja. Ayank istirahat gih. Pasti daritadi capek." Dia begitu baik hati dan selalu berusaha meringankan tugas saya sebagai istri. Tak segan untuk menolong saya tanpa diminta, bahkan mengerjakan perkerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tak sepantasnya dilakukan lelaki. "Aku udah biasa kok bantuin mama nyapu, ngepel, bahkan nyuci baju kalau mama lagi ga ada pembantu di rumah.", begitu katanya.

Suami juga orang yang ceria dan menyenangkan. Bertolak belakang dengan saya yang kadang terlalu serius menanggapi sesuatu dan apa-apa dibawa 'ribet'. Walau pada dasarnya ya kami memang sama-sama suka bercanda, melakukan hal-hal konyol, dan suka saling bermanja. Dia bisa menjadi seorang pria dewasa menyerupai Papa saya dalam memanjakan saya, namun bisa juga menjadi seperti anak kecil dan bermanja pada saya, seolah saya ibunya. Dia begitu santai dan menenangkan saya dalam menghadapi masalah apapun. Hanya jika berkaitan dengan kesehatan saya ia jadi begitu panik dan sangat khawatir. Dia pernah bilang, "Sayang, tolong jaga kesehatan. Kalau sampai ada apa-apa sama kamu, aku mungkin bisa gila yank."





Satu hal yang paling kami jaga adalah kepercayaan. Suami selalu mendukung apapun kegiatan yang ingin saya lakukan selama itu positif. Meskipun menikah, tak lantas kami tidak saling memberi ruang atau space untuk tetap melakukan hal-hal yang kami sukai. Suami bahkan senang sekali kalau saya ke Spa, Salon, atau sekedar berbelanja bersama teman-teman wanita ke mall. Asalkan tidak bersama pria lain, dia mengizinkan saya pergi kesana dan kemari meski tanpa ia dampingi. Saya pun senang membiarkannya pergi main golf, off road, dan membiarkannya melakukan hobby-hobby-nya seperti main games dan lain sebagainya. Saya ingin ia tetap punya waktu bagi dirinya sendiri tanpa harus selalu saya ganggu atau saya temani. Setelah itu pasti kami jadi semakin 'kangen' dan lebih menghargai waktu ketika sedang berduaan. Kami sama-sama penggemar film dan kuliner, jadi selalu menyempatkan untuk movie date plus eating out at least once a week. :)

Sekarang, saat kami sedang berjauhan pun (karena selama hamil saya di Jakarta dan ia di Jambi), saya tidak pernah sedikit-sedikit menelepon atau menghubungi dia. Paling sesekali saya BBM untuk mengingatkan makan dan shalat. Tapi saya biarkan suami yang selalu menelepon kapanpun ia sedang senggang. Dan ia memang selalu menyempatkan diri untuk sekedar mendengar suara saya 5-10 menit disela-sela kesibukannya. Menanyakan apa yang sedang saya lakukan, bagaimana keadaan bayi kami di dalam perut saya, juga mengingatkan saya shalat 5 waktu dan makan 3 kali sehari. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor pasti ia menelepon, saat istirahat siang, dan juga malam ketika akan tidur. :)

Yang paling saya kagumi dari suami adalah komitmennya terhadap pernikahan kami. Tidak ada yang berubah dari sebelum dan sesudah kami menikah. Kalau pun ada, semua jadi semakin indah. Suami semakin sayang, semakin sweet, semakin perhatian, dan semakin memanjakan saya dari sebelum kami menikah hingga sekarang. Ia selalu lembut dalam berucap, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Dan sentuhannya selalu menenangkan saya. Kalaupun kami bertengkar, ia tidak pernah sama sekali mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Dan setiap kali marahpun itu ia lakukan selalu demi kebaikan saya. Misalnya jika saya bandel tidak menjaga kesehatan atau terlalu sibuk.

BEFORE MARRIED








Most relationship end because people stop doing the things they were doing at the beginning. But we still do it all. All those little or simple thing like saying  "I love you" everyday. Bahkan "cium-cium" mesra "mmuah-mmuahh" ala 'abege' ditelepon setiap kali mau memutus hubungan telepon masih selalu kami lakukan dari dulu hingga sekarang. :D

AFTER MARRIED




Kalau ditanya apa yang paling saya suka dari suami atau apa yang membuat saya jatuh cinta.. Well, it just happens. Saya juga tidak tau apa atau mengapa. Bukankah mencintai seseorang sebaiknya tanpa alasan. Sehingga cinta itu akan selalu bertahan. Jika kita mencintai seseorang karena suatu hal, bukankah ketika hal itu telang hilang, maka cinta itu pun akan ikut pergi? Sedangkan di dunia tidak ada hal yang abadi. Fisik, materi, bahkan hati dan pribadi seseorang bisa berubah hanya dalam sepersekian detik. Yang saya tau pokoknya saya mencintai pria ini dengan sepenuh hati. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya saat ini, besok, dan insyAllah selamanya. Itu adalah komitmen saya yang akan berusaha untuk saya jaga.

Berbahagialah pasangan yang sudah menikah karena menurut Rasul, dengan menikah sesungguhnya mereka telah menggenggam separuh agamanya dan tinggal menyempurnakan separuhnya lagi (taat dan bertakwa pada ALLAH dengan menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang). Semoga pernikahan kami selalu langgeng hingga ajal yang memisahkan, sakinah, mawahdah, dan warrahmah, serta selalu berbagi tawa bersama dan tetap mesra selamanya. :)

Saya tau saya dan suami terhitung baru saja setahun menikah. Wajar kalau segala hal masih begitu indah. Saya yakin masih begitu banyak ujian dan cobaan yang akan kami hadapi di depan nanti. Mungkin saat ini memang semua masih terasa begitu manis dan 'belum ada apa-apanya', namun insyAllah saya yakin sekali, asalkan hati kami masih saling bertautan, cinta kami masih begitu besar, dan tangan ini masih saling bergandengan, berpegangan pada komitmen teguh dan janji yang kami ucapkan saat menikah, kami akan selalu berusaha bertahan dan menjaga keutuhan pernikahan kami. InsyAllah. Amin..




* * *

Caramu mencintaiku
Menjauhkan kecurangan
Seperti bintang yang setia pada bulan
Memegang kukuh janji
Menemani aku sampai mati
Terpasung hati tulusmu mendampingi diriku

Makin aku cinta
Cermin sikapmu yang mampu meredam rasa keangkuhanku,

memahami cinta

Caramu memanjakanku
Kau rujuki kesejukan pagi
Kau mengasuh hati

Tulus aku memasrahkan diri


Jangan pernah terbersit hati
Meragukan kesetiaan yang tercurah
Aku dan dirimu ditakdirkan satu
Langit jadi saksi

"Makin Aku Cinta"

* * *

This post is dedicated to you my dearest husband. Written with all my heart. I love you so much, more, and most. Always have, always will. :*

And if someday my child reading this.. Well, this is the way Mommy and Daddy met and finally fall in love, sweetheart. And if someday we forgot and arguing things up or come into a fight, i hope that you're the one who can remind us how we really love each other and how we loves you and how we always want to keep this marriage last forever.


3 komentar:

  1. tulisan ini bagusssssssssssssss bgt!!
    aku ngebacanya sampe nangis sendiri, ga ngerti karna terharu / ikut bahagia.. Dan tulisan di akhir itu juara! passsss bgt buat jd penutup cerita manis ini :)

    BalasHapus
  2. Hehehe. Thanks for reading, Evans. :)
    And thanks for leaving a comment. Really appreciate that. :)
    Hope that you keep reading on my blog. ;)

    BalasHapus
  3. subhanallah ..
    ini cerita bagus banget, ngbacanya merinding sendiri (terharu)
    sampe mata inipun tak kuat untuk meneteskan air mata :)
    dan cerita ini sekaligus bikin envy ..

    smoga mba ernesta & mas rifqi selalu langgeng sampai kakek nenek
    AAMIIN

    BalasHapus