05 September, 2011

Filiorum

"Mereka terlahir melaluimu, tapi bukan darimu.
Walaupun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu."
- Kahlil Gibran

* * *

Puisi dari Kahlil Gibran diatas saya rasa patut menjadi renungan bagi setiap orang tua maupun para calon orang tua. Saya sendiri saat ini memang belum memiliki anak dan belum pantas rasanya jika saya "berceramah" tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik. Namun, sejak rahim saya dihuni seorang calon bayi, saat itulah saya telah disebut seorang ibu. Saya berkewajiban menjaga janin saya selama 9 bulan lebih hingga saatnya ia lahir ke dunia. Tidak mudah memang, karena sepanjang perjalanan 9 bulan ini saja saya harus mau berkorban banyak hal demi kebaikan si bayi, harus mau makan dan minum apapun yang sehat meskipun beberapa begitu saya benci, harus bertahan menanggung beratnya bobot perut yang selama ini tidak pernah dicapai angkanya di timbangan seumur hidup saya selama 24 tahun hingga pinggang, punggung, pinggul, dan sendi-sendi kerap terasa nyeri, harus ikhlas dan sabar menahan berbagai macam rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Itu hanya sebagian saja pengorbanan ibu selama hamil, yang belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan yang harus dihadapi dengan keringat, air mata, dan darah ketika melahirkan nanti. Belum lagi ketika membesarkan anak, mendidik, merawat, menjaga, dimana kesemua itu adalah membutuhkan tanggung jawab dan kesiapan fisik & mental. Yah, punya anak memang adalah suatu komitmen seumur hidup.

Saya rasa tidak ada orang tua normal yang tidak menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi anaknya. Apabila anda mengikuti kiprah saya dalam tulisan-tulisan saya melalui blog ini, betapa untuk calon bayi saya yang akan menjadi putri pertama saya ini selalu saya usahakan segala yang terbaik baginya. Mulai dari apa saja yang saya coba lakukan selama hamil untuk menunjang kesehatan, kecerdasan, dan demi optimalnya tumbuh kembang janin. Hingga urusan memilih barang-barang terbaik yang paling aman dengan kualitas yang sebaik-baiknya bagi anak saya kelak. Kadang sampai tak perduli dan lupa memikirkan harga jika sudah menyangkut kebutuhan si kecil.

Karena merasa paling tau yang terbaik dan selalu mengusahakan memberi yang terbaik bagi para buah hati, terutama ibu khususnya yang merasa sudah bersusah payah mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak. Mengurus mulai dari ASI, memandikan, memberi makan, membersihkan kotoran dan pipis, bangun tiap malam untuk menggendong si kecil yang menangis, hingga mengajarinya berbagai hal tentang dunia sejak ia membuka mata, kadang beberapa ibu dapat menjadi arogan. Lupa bahwa anak adalah titipan Tuhan, bukan kita yang menciptakan. Sebagaimana puisi diatas, "Mereka terlahir melaluimu, tapi bukan darimu." Kita lupa bahwa sebagai orang tua, kita hanya sekedar "perantara". Tugas kita adalah memang mengandungnya, melahirkan, memelihara, merawat, menjaga, dan membesarkan. Memang tugas anak adalah berbakti pada orang tua. Namun apakah kita harus menuntut mereka agar berlaku demikian? Bukankah kasih ibu "memberi tak harap kembali"? Bukankah akan jauh lebih bahagia jika itu seyogyanya menjadi "tugas" mereka bukan "kewajiban" yang baru diberikan setelah kita "menuntut"-nya?




Tentu saya pun sebagai orang tua berharap memiliki anak yang kelak santun dan mengasihi saya sebagaimana saya mengasihinya. Namun saya pun berdoa agar ALLAH senantiasa mengingatkan saya agar tidak menjadi ibu yang tidak ikhlas dan semena-mena terhadap hak anak. Agar saya selalu ingat bahwa anak saya memang selalu bersama saya namun ia bukan milik saya. Ia adalah amanah dari Yang Maha Kuasa.

Mengapa saya membahas hal ini sama sekali bukan untuk sinisme atau sarkasme yang bertujuan menyindir seseorang atau beberapa pihak. Ini murni renungan saya setelah mendengar kisah seorang teman. Sebut saja si "A". Seorang gadis cantik, baik luar biasa, dan setau saya taat beribadah. Mengenai latar belakang keluarganya, saya sendiri kurang begitu paham karena bukan termasuk sahabat dekat saya. Saya mengenalnya mungkin hanya sebatas "kulit" saja. Bahwa ia gadis cerdas dan mandiri, pernah berprofesi menjadi seorang pramugari. Alkisah, A jatuh cinta pada "S". Seorang pria yang bekerja sebagai ****** seperti ayahnya. Setahu saya jabatan ayahnya cukup tinggi di bidang profesi yang sama dengan anaknya dan mereka adalah keluarga berada yang terpandang. Entah mengapa, kisah cinta keduanya tidak disetujui keluarga pihak laki-laki (S). Habis-habisan ditentang terutama oleh sang ibu. Orang-orang sekeliling mengatakan pada saya bahwa alasannya karena latar belakang si A. Entah itu karena profesinya di masa lalu atau keadaan ekonomi keluarga yang mungkin dinilai orang tua S tak setara dengan si pria. Saya sendiri tidak berani menilai mana yang benar atau salah. Saya pun hanya mengetahui selentingan kabar kisah mereka melalui beberapa teman yang bahkan saya tidak pernah bertanya (tapi selalu diceritakan begitu saja).

Yang membuat saya terharu adalah betapa mereka tidak pernah menyerah memperjuangkan cinta mereka. Semakin ditentang dan dilarang, semakin mereka berjuang. Karena tuntutan profesi S, pernikahan mereka haruslah disetujui oleh kantor. Namun karena pengaruh ayah S, ibunya menyabotase berkas mereka entah bagaimana hingga akhirnya permohonan mereka untuk bisa menikah... DITOLAK! Tak menyerah, S terus berusaha memperjuangkan. Kemanapun ia pergi (penempatan dinas), ia sebisa mungkin membawa A bersamanya untuk kemudian dapat ia nikahi. Sampai akhirnya entah bagaimana (kuasa Tuhan), mereka menikah dan kini telah memiliki seorang anak. Saya turut bahagia sekali melihat foto-foto mereka di Facebook. Mengingat begitu hebatnya perjuangan cinta mereka.

Beberapa hari yang lalu, A mengirimkan saya ucapan lebaran melalui Yahoo Messenger! (YM!), saya membalasnya dan kami jadi banyak bertukar cerita. Ia begitu baik menanyakan kabar saya dan janin saya, memberi banyak tips dan sharing pengalamannya sebagai ibu baru agar kelak bisa menjadi manfaat dan pelajaran bagi saya. Kemudian ia bercerita tentang hidupnya sekarang. Ia bilang: "Nest, kamu harus bersyukur.. Ga jadi istri ******, aku disini sering hutang ke tukang sayur kalau belanja. Tinggal di asrama kantor. Sampai 8 bulan hamil aja aku tetep nyuci, masak, beres-beres, semuanya sendiri. Ke rumah sakit naik motor. Apalagi disini ga ada klinik laktasi, jadi aku modal nekat cari info soal menyusui lewat internet di warnet."
Hati saya sakit sekali bagai dicabik-cabik dan terenyuh pilu. Sementara saya selama hamil begitu terjaga, terawat, disayangi dan diperhatikan semua orang. Segala sesuatu disiapkan dan dicukupi dengan sebaik-baiknya. Saya tahu sekali tak semua istri ****** mengalami hal itu. Banyak kok yang hidup enak dan berkecukupan. Dan saya pikir saya tau kenapa dan apa alasannya ia sampai harus mengalami semua itu.

Lanjut lagi, saya bertanya, "Kenapa kamu nikah kok aku ga dikasi tau? :("
"Aku nikah sederhana banget, Nest. Cuma akad aja, itu pun suamiku hutang. Sampai sekarang harus tetep nyicil dengan potong gaji. Aku lihat foto-foto nikahan kamu, Nest. Nesta cantik banget."
Astaghfirullah...... Betapa saya kemarin saja sempat menangis karena beberapa orang "menyindir" pernikahan saya yang "sederhana" atau bisa dibilang "jelek" dimata mereka. Karena saya memang tak mau menuntut banyak pada Oma yang sudah begitu banyak saya repotkan sejak saya kecil dan dirawat olehnya. Betapa saya menangis karena beberapa orang begitu tega meledek dan merendahkan. Namun lihatlah A... Nasibnya bahkan jauh lebih menderita. Alhamdulillah pernikahan saya masih dibiayai keluarga sehingga tak perlu meminjam sana sini. Tak perlu pula suami dipotong gaji untuk mencicil biaya nikah. Betapa saya seharusnya berkaca pada kisah A, tak usah menghiraukan omongan orang dan banyak bersyukur atas segalanya. :(

Semua itu mereka alami.. Well.. Tak lain karena pernikahan mereka tak disetujui pihak orang tua S. Seharusnya mereka tetap dapat paling tidak hidup enak dan cukup jika sedikit saja keluarga mau membantu pasangan muda yang baru menikah itu. Apalagi keluarga pihak laki-laki as what i've mentioned before, is a wealthy family. Memang tidak baik berharap pada uang keluarga. Saya dan suami pun sebisa mungkin selalu mencukup-cukupi segala kebutuhan kami sejak menikah murni dari gaji suami semata. Alhamdulillah tidak pernah sampai meminta-minta atau mengharap uang dari orang tua kami. Tapi paling tidak, jika melihat anaknya hidup susah seperti A & S sementara orang tua memiliki rezeki berlebih, apakah tega hanya diam saja dan tak ingin membantu? :(

Semua itu seolah "hukuman" atau "ganjaran" dari orang tua S bagi mereka berdua karena tidak menurut kehendak orang tua. Karena menyalahi aturan orang tua. Simply karena A & S berusaha bebas menentukan nasib mereka sendiri dan memperjuangkan cinta mereka yang ditentang orang tua. Siapalah pasangan menikah yang tidak mau mengharap ridho dan restu dari orang tua. Saya sendiri yakin pernikahan yang diberkahi adalah pernikahan yang diiringi doa restu dari para orang tua kedua belah pihak baik pengantin laki-laki dan perempuan. Namun ketika hati sudah terpatri dan tak dapat pindah ke yang lain lagi, ketika pilihan sudah mantap dan bulat menentukan belahan jiwa yang akan menemani sampai mati, dan batin sudah begitu yakin saling menemukan apa yang dicari selama ini.. Apakah mudah begitu saja menyerah karena orang tua tak setuju? Bagi saya, menentukan pasangan hidup seharusnya menjadi hak asasi yang hakiki bagi diri setiap manusia. Bahkan binatang pun memilih sendiri pejantan/betina yang ingin dikawininya.

Keduanya (A & S) kemudian hidup "menyendiri" berdua, berpisah dengan keluarga, terpaksa "mengisolasi diri" jauh dari Jakarta di tempat dinas S di sebuah daerah, dan "terasing" dari keluarga. Mungkin S bahkan tak dianggap anak lagi oleh orang tuanya.
Sebegitukah tega?

Saya mungkin memang tidak merasakan bagaimana di posisi si ibu S sekarang. Belum merasakan bagaimana menilai calon menantu bagi anak saya. Namun satu hal yang saya rasakan dan tanamkan pada diri saya sejak kecil.. Yang selalu dicontohkan oleh Papa.. Bahwa semua manusia sama. Semua sederajat. Semua setara. Status sosial dan ekonomi hanyalah "atribut" yang menempel dan bersifat sementara. Kita boleh menikmatinya namun jangan pernah hal itu kemudian kita jadikan indikator untuk bisa meninggikan atau merendahkan manusia lainnya diatas atau dibawah kita. Tetap hargai semuanya sama rata. Sopan santun dan tata krama mungkin harus kita junjung bagi mereka yang lebih tua atau menjadi atasan di tempat kerja, namun lalu bukan berarti kita bisa menghina dan menginjak-injak hak mereka yang lebih kecil, lebih miskin, atau lebih rendah dalam beberapa hal dari kita. Ingat bahwa di mata ALLAH, kita semua ini KECIL. Manusia kelak bagaikan debu yang berterbangan di hari akhir nanti.

Saya teringat sebuah tulisan di salah satu bab yang saya baca di buku karangan Indra Herlambang berjudul "Kicau Kacau" halaman 282:

"Kapan lagi saat yang tepat untuk menutupi badan anak-anak kita dengan kaus bertuliskan "I MAYBE SMALL BUT I'M THE BOSS" kalau bukan ketika mereka masih bayi atau balita?



Tentu sekarang, ketika anak-anak itu memang masih mungil, masih kecil, dan seluruh hidup kita dedikasikan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Saat naiknya suhu badan mereka masih bisa membuat kita seketika meninggalkan pekerjaan penting di kantor dan buru-buru pulang untuk menemuinya. Saat sepotong tangis mereka masih bisa membangunkan kita yang baru sejenak terlelap untuk melayani apa pun yang mereka minta. Minum, makan, ganti popok, bermain, apa pun permintaannya kita akan penuhi dengan senang hati.


Nanti, ketika mereka sudah mulai beranjak dewasa, masihkan kita mau menyematkan gelar "The Boss" pada mereka? Akankan kita bisa merelakan mereka untuk mengambil keputusannya sendiri? Yakinkah nanti kita bisa menjadi navigator penunjuk arah dan bukan pemegang kemudi kehidupan mereka? Relakah kita melenturkan kebenaran yang kita yakini untuk dapat berpilin dengan kebenaran yang mereka punyai? Bukankah nanti gelar "The Boss" itu akan ada pada kita lagi? Kita yang merasa berhak menentukan hidup mereka.


Akan tiba waktunya bayi mungil nan lucu dan menggemaskan itu berubah menjadi 'monster' aneh yang membingungkan. Dan sebagai orang yang merasa punya kuasa, kita pun segera berusaha mengambil gelar bos itu dari mereka.


Dulu mereka menentukan jam tidur kita dengan tangisan tengah malam yang mereka punya, nanti giliran kita yang membatasi gerak jarum jam dalam hidup mereka. Dulu mereka menentukan ritme pekerjaan kita di kantor, nanti giliran kita yang menentukan bidang apa yang harus mereka kerjakan.
Dulu kita setengah mati menjaga kepala lunak mereka agar selalu aman dan bisa bertumbuh dengan sebaik-baiknya. Dulu kita setengah mati berharap agar tempurung kepala mereka lekas terbentuk keras sempurna agar bisa melindungi mereka. Nanti tempurung itu akan mengeras dan kita akan menyebut mereka keras kepala untuk alasan yang sungguh berbeda. Mereka akan menganggap semua perintah sebagai petunjuk untuk melakukan hal sebaliknya. Mereka akan melihat semua nasihat dan saran sebagai paksaan dan ancaman. Mereka akan memilih jalan hidupnya sendiri.


Mereka akan menjadi kita.


Menjadi manusia.


Karenanya, nikmati saja waktu yang ada untuk bisa memakaikan kaus berslogan apapun di badan anak kita. Sebagai wujud perhatian, cinta, pemenuhan kebutuhan, rasa kebanggaan, dan berjuta nilai mulia lain yang dihadiahkan semesta bagi yang terhormat para orang tua.


Namun nanti, jika waktunya tiba, sediakan saja selembar kaus paling polos.
Agar mereka bisa menulis slogannya sendiri."

* * *

Banyak orang bilang membesarkan anak bagai melukis diatas kertas putih. Kita yang akan memberi warna dan menggambarkan pola mereka. Well, saya harap saya bisa menjadi kertas putih itu saja. Yang memberi naungan dan tempat bagi anak saya yang kelak menjadi sebuah pena agar bisa menari dengan leluasa diatas sebuah kertas putih untuk menentukan "gambar" apa yang terbaik yang ingin dilukisnya dan warna-warna apa saja yang ingin ia hadirkan untuk memperindah hidupnya.

Saya ingin tetap menjadi orang tua yang memperlihatkan apa saja pilihan-pilihan yang ada dalam hidup, tetap membimbing dan menyarankan apa yang sekiranya baik menurut pandangan saya, namun tetap saya ingin keputusan ada padanya dari sudut pandangnya sendiri. Karena hidup adalah pilihan. Dan hidupnya haruslah didasari atas pilihannya sendiri. Bidang apa yang ingin ia kuasai, pelajari, dan tekuni kelak. Cita-cita apa yang ia cintai dan inginkan untuk ia raih dalam hidup. Hingga pada saatnya ia memilih pasangan hidup yang menurutnya adalah terbaik baginya. Saya harap tetap dapat mendampingi dan memberi masukan yang berarti baginya.. Lalu membiarkan ia menentukan pilihannya. Sebagaimana alhamdulillah orang tua saya senantiasa mendukung apapun yang jadi pilihan anak-anaknya selama ini tanpa pernah memaksakan kehendak mereka sebagai orang tua kami. Semoga saya kelak bisa menjadi orang tua yang lebih baik lagi bagi anak-anak saya nantinya. InsyAllah. Amin.

Ingatkan mama ya, nak.. Jika kelak mama mulai bertindak bagai penguasa yang diktator atas dirimu. Karena yang berhak atasmu sesungguhnya adalah kamu.. dan TuhanMu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar