20 September, 2011

Fracta



Lately, I heard so many bad news.
About the worst thing in the world that I hate the most besides war...
And what is that? Divorce. :(

Belakangan ini banyak sekali berita perceraian yang entah kenapa sedang marak terjadi di sekeliling saya. Parahnya kini semakin dekat saja range-nya. Mulai dari orang-orang yang bukan saudara, teman-teman, saudara-saudara jauh, dan kini salah satu saudara dekat saya sendiri.

My big family portrait

My Grandmama and all of her granddaughters (me and my cousins)

Grandmama with all of her grandchild

Penyebabnya macam-macam. Namun saya tak mau ikut campur atau ingin tahu detil tentang akar masalah dan problematika yang dihadapi rumah tangga mereka hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Sudah cukuplah saya trauma akan rasa sakit dan derita yang harus saya rasakan akibat menjadi korban dari perceraian kedua orangtua saya. Saya tak ingin mendengar lagi tentang perceraian dan segala rupa alasannya. Jika boleh meminta, selain dihapuskannya perang dari muka bumi ini, saya juga ingin jangan sampai ada lagi pernikahan yang tercerai-berai. Cukup saya dan dua orang adik saya saja yang merasakan efek dari keegoisan dan adu kepentingan orangtua. :(

Uniknya, kadang justru anak yang menjadi sumber masalah dan faktor pendorong terjadinya perceraian. Saya tak habis pikir ternyata ada juga anak-anak yang sengaja ingin kedua orang tuanya justru berpisah demi kepentingan pribadi mereka, misalnya berkaitan dengan harta benda. Kepala saya terasa berputar dan habis akal jika memikirkan yang demikian. Betapalah bodoh dan durhakanya (pardon my words). Sebagai anak, menurut saya justru sebisa mungkin kita berada di pihak yang netral. Meskipun kita merasa berhak menentukan, menilai, dan merasa tau siapa yang salah dan siapa yang benar, tetap saja sebaiknya janganlah sampai memihak salah satu (ayah atau ibu). Jadilah anak yang berbakti pada keduanya dengan mencoba mempersatukan mereka, dengan mencoba merekatkan kembali bagian yang rusak atau pecah, dan berusaha memperbaiki keadaan (situasi dan kondisi) agar jadi kembali baik seperti sedia kala. Karena apa? Percayalah jika sampai terjadi hal yang tak diinginkan dan begitu dibenci ALLAH tersebut, kitalah anak-anak yang akan menjadi korban. Kita yang akan merasa paling disakiti. Kita yang akan merasa paling kehilangan. Karena sampai kapanpun menurut saya, seorang anak membutuhkan keduanya baik ibu dan ayah. Meski Rasul memerintahkan kita untuk menyayangi ibu kita 3 kali lipat lebih daripada rasa sayang pada ayah.. Namun saya yakin kita semua pasti selalu berusaha untuk menyayangi dan menghormati ibu maupun ayah dengan sama rata. Kita selalu sayang pada keduanya, bukan?
Kita tidak akan pernah sanggup, siap, mampu, ataupun mau untuk kehilangan salah satu dari mereka, kecuali jika ALLAH yang sudah menghendaki ciptaanNya untuk kembali ke sisiNya, yakni di tempat yang jauh lebih baik.

Pun sebagai orang tua, jika saya boleh memberi saran atau nasihat tanpa bermaksud menggurui.. Saya pun tau pernikahan saya masih 'seumur jagung' yang sebentar lagi baru akan menapaki usia satu tahun pada akhir tahun ini.. Namun tolonglah.. Para orangtua dibelahan dunia manapun.. Ingat jika sudah memiliki anak, komitmen kita seumur hidup untuk saling mengabdikan diri dan bekerja sama saling bahu membahu to devoted our lives in order to take a really good care of our kids. Bahwasanya tujuan utama kita berdua selaku suami istri (bapak dan ibu rumah tangga) adalah untuk membesarkan, merawat, dan menjaga anak-anak yang dititipi Tuhan. Kebahagiaan dan kesuksesan mereka kelak memang ada di tangan mereka namun juga sangat bergantung pada bagaimana kita menyediakan suatu wadah bernama "Rumah" dalam arti yang sesungguhnya. Tempat dimana mereka dapat merasa aman, nyaman, tentram, bahagia, dan mendapatkan kehangatan dan kasih sayang untuk kemudian menjadi bekal dan tumpuan mereka menyongsong masa depan.

Dulu ketika Papa dan Mama saya masih akur-akurnya, bagi saya rumah adalah surga di langit tertinggi.
Namun ketika mereka mulai sering saling bertengkar dan berteriak satu sama lain, rumah tak lain adalah neraka dunia.

Dan hingga kini.. Sejak mereka berpisah dan saya memilih tinggal bersama Oma karena sebegitunya saya tak ingin memilih salah satu diantara mereka, saya tak pernah merasa memiliki "Rumah".
Rumah Oma yang segala fasilitasnya lengkap. Ada kamar luas untuk jadi tempat tidur yang indah bagi saya, ada dua orang pembantu rumah tangga yang selalu siap sedia melayani segala kebutuhan saya, ada mobil dan supir yang siap mengantar kemana saja saya ingin pergi, dan ada pula segala harta benda yang cukup bahkan lebih untuk menyokong segala keperluan saya selama saya kecil hingga lulus kuliah dan menikah.. Namun semua itu tak pernah menjadi "Rumah" yang lengkap bagi saya. Tidak ada Papa. Tidak ada Mama. Tidak pula saya berkumpul lengkap dengan adik-adik kandung saya karena salah satu adik saya tinggal bersama Mama. Tidak ada kehangatan, kasih sayang, dan perhatian yang cukup seperti yang dulu pernah saya rasakan ketika keluarga saya masih begitu harmonis dan komplit sebagaimana keluarga normal lain pada umumnya. Oma sibuk mengurus segala bisnis keluarga. Dan sampai kapanpun, meski Oma baik dan selalu berusaha mencukupi perhatiannya pada saya, ia tidak akan pernah bisa menggantikan peran Papa dan Mama. Bagaimanapun ia nenek saya. Bukan orangtua saya. :(

My beloved Grandmama


Seiring saya beranjak dewasa dan tinggal di rumah Oma, saya sering sekali kangen Papa dan Mama. Dalam satu kesatuan keduanya, bukan terpisah. Bahkan kalau bisa, ingin sekali mengulang kembali masa-masa kecil yang begitu bahagia ketika semuanya masih begitu indah. Sering sekali saya menangis dan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Bahkan saking depresinya saya pun pernah berkali-kali menyakiti diri sendiri dengan benda tajam. Yang tadinya saya begitu cemerlang di bidang akademik, peringkat kelas 3 besar pun sempat hilang dari rapor saya, berganti dengan angka-angka merah hingga akhirnya saya bisa bangkit kembali karena kebaikan hati seorang guru wali kelas saya (perempuan) yang setiap jam istirahat memanggil saya ke ruangannya untuk curhat (sharing) tentang apa saja yang saya rasakan pasca perceraian Papa Mama. Ketika itu saya ingat kata-katanya yang ia ucapkan sambil berlinang air mata dan mengusap kepala mungil saya, "Ernest sayang harus kuat ya. Itu semua masalah Papa dan Mama. Dan kamu sayangnya ga bisa mengubah apapun lagi. Jadi biarkan mereka. Kamu sebagai kakak harus kuat untuk bisa jadi contoh adik-adik. Ya sayang? Harus semangat lagi belajarnya dan tunjukkan pada semuanya bahwa kamu anak hebat yang kuat dan pintar!"

I guess this one is the only picture left that captured my 'complete and happy family'

Me, my mom, and my lil sis used to do jogging every sunday and my daddy always bring his camera to take a picture of us

Me and my lil sis on a holiday

Little me

Me and all of my cousins when we were kids

Me and all of my cousins on our first Australia Tour

My big family on a holiday trip

Fracta means broken. Sesuatu yang pecah mungkin memang tidak dapat kembali seperti bentuk semula. Layaknya kertas yang telah diremas. Mungkin semua telah rusak dan terkoyak. Namun percayalah, segala sesuatu yang pecah itu masih dapat diperbaiki jika ada kemauan. Jika ada hati yang masih mau dipersatukan dan mengalahkan ego demi satu tujuan. Demi menyelamatkan suatu keluarga agar kembali utuh dan mau saling menghangatkan dan mencairkan bongkahan 'gunung es' yang tumbuh ditengah-tengah kita. Apapun masalahnya. Apapun kesulitannya. Bersatulah karena berpisah sungguh tak pernah jadi lebih baik kecuali memang cinta itu telah hilang dan punah dari tiap anggota didalamnya.

In conclusion, well... I just don't know how to say it.. but a broken home can cause a forever broken heart that may never heal in a lifetime. Believe me. Karena saya mengalaminya. Dan masih merasakan sakitnya hingga kini. Sejak 15 tahun yang lalu. :(



Tidak ada komentar:

Posting Komentar