"nudis" oh yes. It means "naked" in English. "Telanjang" dalam Bahasa Indonesia. :D
Oh bukan.. Bukan mau ngomongin yang jorok-jorok atau porno kok.
Mari kita bicara tentang "telanjang" tanpa embel-embel pikiran kotor atau negatif seputar hal itu.
Saya jadi ingat sepenggal lirik dari lagu Ebiet G. Ade ( duh ketauan deh tuanya. :p )
"Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat"
du du du du du~
hehehehe.. jadi keterusan nyanyi.
Well, I'm pretty sure yang dimaksud Kang Ebiet bukan "telanjang" dalam arti melepas busana kita. Namun lebih kepada pengertian yang lain yaitu jujur dan tulus. Menurut istilah saya sih "mempoloskan diri" atau "menelanjangi" diri kita sendiri untuk bisa melihat ke dalam hati dan nurani kita sendiri.
Beberapa hari lalu, seorang teman me-Retweet quote dari Paulo Coelho.
Seperti yang kita tau, Paulo Coelho adalah seorang sastrawan Brazil yang juga merupakan seorang penulis ternama. Quote itu muncul di timeline saya dan menyita perhatian saya. Tau sendiri kan kadang saking banyaknya ratusan tweets yang muncul di linimasa, terkadang kita suka skip dan hanya scrolling up and down sekilatnya tanpa terlalu "ngeh" sama apa saja tulisan yang ada disana.
But that quote (which steals my attention) goes like this:
"Writing is a socially aceptable form of getting naked in public". - Paulo Coelho
Karena menarik, saya Retweet dan berhasil membuat saya merenung sejenak.
Iya ya, kalau dipikir-pikir.. Menulis itu adalah suatu bentuk penelanjangan diri. Entah itu tulisan dengan konsep "My Diary" seperti blog saya ini atau daily tweets saya di Twitter, ataupun novel fiksi sekalipun! Novel fiksi pun mengumbar apa yang ada dalam imajinasi dan pikiran penulisnya lho. Dan somehow bisa membuat kita berdecak kagum karena tau seberapa luas wawasan, kreatifitas, dan cara sosialisasi si penulis dengan lingkungannya. Saya sendiri paling suka novel yang memuat kisah entah fiksi atau pengalaman pribadi penulis, namun tetap dalam setting lokasi tempat yang nyata. Misalnya sebuah restaurant yang disebut namanya oleh si penulis dan benar-benar ada di suatu kota atau negara. Isn't it cool? Selain bisa jadi referensi tempat tujuan, kita bisa tau dengan detail sisi sisi menarik tempat tersebut walaupun belum pernah menginjakkan kaki kesana.
Saya selalu begitu tiap membaca sesuatu. Membayangkan saya ada disana, di posisi, dan juga situasi si tokoh dalam buku. Just like an adventure, aite? ;)
Karena itulah membaca novel dikatakan para ahli lebih mencerdaskan dan berperan dalam perkembangan otak dibandingkan dengan membaca komik (no offense to all comic readers, I do love comics too!), karena komik sudah menyuguhkan gambaran-gambaran tanpa memerintahkan otak kita untuk membayangkan adegan-adegannya seperti ketika membaca novel.
Sejak dulu saya sudah jatuh cinta dengan menulis. Sewaktu SD, saya sudah membuat novel lho. Dan itu tidak cuma satu. Tapi belasan judul! :D
memang sih tidak dapat ditemukan di book store manapun. ;p ya tentu saja, karena tidak ada karya saya yang saya publish. Semua hanya iseng-iseng saja dan saya tulis dengan tangan (pensil bahkan!). Begitu pun, novel-novel saya punya banyak penggemar. Hahaha. Siapa lagi kalau bukan teman-teman sekelas saya waktu di bangku sekolah dasar dulu. Kebanyakan juga perempuan karena novel-novel saya berkisah tentang romantisme cinta. Ahahaha. Anak SD jaman dulu yang terlalu cepat dewasa. :p
Beberapa dari mereka mem-fotocopy novel-novel saya karena suka. Untuk koleksi mereka di rumah, katanya.
Ketika SMP, saya tetap suka menulis. Bukan novel lagi. Tapi cerpen. Dan setiap kali dapat tugas menulis atau mengarang bebas dari guru Bahasa, nilai saya selalu paling tinggi dan si guru sering meminta saya membacakan karya saya di depan kelas. Guru Bahasa saya saat itu adalah Bp. Subhan (di SMP Al-Azhar Kelapa Gading), beliau melihat potensi saya dan meminta saya coba-coba untuk menulis puisi. Alhamdulillah ternyata puisi yang saya tulis juara III di tingkat se-SMP di Jakarta Utara. Dan dibacakan oleh salah seorang teman saya yang sangat jago baca puisi dan sering menang lomba baca puisi. Bangga luar biasa deh pokoknya, :D
Bp. Subhan juga meminta saya menjadi kepala redaksi Majalah Dinding (Mading) Sekolah. Tiap edisi selalu saya garap dengan sungguh-sungguh lho meskipun saat itu saya juga sibuk di Organisasi Intra Sekolah (OSIS) sebagai bendahara.
Begitulah, saya sungguh cinta dengan menulis. Mungkin hal ini berarti "doa" kakek saya terkabulkan. Ya, kakek saya-lah yang memberi nama saya Ernesta. Diambil dari Ernest Hemingway, nama seorang penulis kesukaan beliau. Kakek saya yang dulunya Walikota itu memang sangat suka membaca. Buku-bukunya mencapai ribuan, berbagai jenis mulai dari ensiklopedia hingga novel. Dan juga dalam berbagai bahasa.
Psst.. Mama bilang sih nama saya juga berasal dari nama salah satu mantan pacar Papa yang paling cantik. Anak seorang pastor. Pantas saja saya sering dikira beragama Kristen. :D
Kembali ke soal "telanjang" tadi, berkaitan dengan quote dari Paulo Coelho, menulis adalah suatu bentuk "ketelanjangan" yang paling dapat diterima di muka publik. Yaiyalah, kalau telanjang tanpa busana di depan umum.. Mau dikira orang gila?
Tetapi menulis ini lain.. Sama saja kita telanjang, tapi dalam bentuk yang dapat diterima oleh orang lain. Indah sekali bukan?
Seberapa jauh masing-masing orang mau "telanjang" lewat tulisan-tulisan pribadinya adalah hak asasi masing-masing orang, selama itu tidak "menyikut" atau "menginjak" hak orang lain. Misalnya mencemarkan nama baik atau membuat fitnah.
Ada orang yang "pemalu" dan hanya berani "topless" lewat tulisan-tulisannya di social media (public), ada juga yang vulgar, berani "buka baju dan celana" bahkan "underwear" lewat tulisannya di ranah massa. Itu semua pilihan masing-masing orang.
Saya sendiri termasuk vulgar. Saya berani kok cerita ini itu dan selalu terlalu jujur. Saya suka tweet ini-itu. Apa saja kegiatan saya, makanan yang saya makan, tempat yang saya kunjungi, kegiatan saya, perasaan saya, pikiran saya, keluhan saya, apa saja! Sesuka saya. Salah seorang sahabat saya (seorang alumni psikologi UI) pernah iseng mengetes kepribadian saya dan dia bilang: "Lo itu orang yang super duper transparan, Nest. Lo terlalu terbuka. Lo emang supel dan gampang deket sama siapa aja. Tapi gue ingetin ya.. Ini bisa jadi kelemahan dan kelebihan lo sekaligus. Karena ga semua orang baik seperti yang lo pikir, Nest. Ada juga orang yang jahat, iri, gasuka, dan negative thinking."
Saya hargai nasehat dan peringatannya. Namun inilah kepribadian yang saya miliki. dan sulit sekali untuk merubahnya. Bukankah Allah menciptakan manusia dengan segala keunikannya masing-masing?
Kenapa harus takut oleh manusia lain? Hak kita untuk menulis apapun yang kita mau, berbagi atau sharing apapun yang kita inginkan. Hak mereka juga kok untuk menilai atau menghakimi kita sejauh yang mereka mau. Bukankah social media begitu membludak karena semua orang ingin didengar? Ingin bercerita, diperhatikan, dan disimak oleh manusia lainnya. It's human basic needs.
Saya senang sekali memperhatikan manusia lain. saya suka membaca kegiatan mereka, pikiran mereka, melihat foto-foto yang mereka upload, saya jadi semakin banyak tau tempat-tempat baru, makanan-makanan baru, sampai barang-barang baru. kalau pun ada yang terlalu mengganggu, karena terlalu sering posting ini itu (frekuensi tweet-nya per-menit sungguh menakjubkan!), pernah kok saya unfollow satu atau dua orang teman yang seperti itu. Simple kan? Daripada saling gossip, mencaci, atau menghina yang berujung dosa, dendam, dan sakit hati?
Well, seberapa jauh kita mau "telanjang" memang memberi celah bagi manusia lain untuk menatapi kita, mengamati kita, menilai kita.. So, I dont mind at all. Judge me as much as you like, people.
I fall for writings and words, and to all those pictures that could describes a thousands words.
And i dont mind being "naked" at all in front of you.
Karena setiap huruf adalah "bajuku" yang paling jujur. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar